UPAYA MENGISI KEMERDEKAAN
A. Penataan Kehidupan Politik
a. Sistem pemerintahan
Sejak
pengakuan kedaulatan terhadap RIS, secara resmi tanggal 27 Desember
1949 oleh Belanda. Seharusnya Belanda tidak campur tangan lagi dalam
urusan Indonesa secara langsung. Tetapi dalam kenyataannya Belanda masih
sering ikut campur urusan dalam negeri Indonesia
sehingga menyulitkan pemerintah dalam menata kehidupan politik dan
ekonomi, antara lain terhadap pemberontakan APRA, Andi Aziz dan RMS.
Itulah sebabnya RIS hanya bertahan selama 8 bulan ( 27 desember 1949 –
17 agustus 1950) akibat desakan untuk kembali dari bentuk Negara Negara
bagian kebentuk Negara kesatuan. Untuk kembali kenegara kesatuan , pada
tahun 1950 dibentuk UUDS.
Dalam
UUDS tahun 1950, system pemerintahan yang dianut adalah system
Demokrasi Liberal dengan cabinet Parlementer. Pada masa cabinet
parlementer ini bukannya bertambah baik, tetapi malah bertambah buruk
karena terjadi pergulatan diantara partai-partai politik. Setiap partai
politik berupaya untuk merebut kedudukan tertinggin dengan menjatuhkan
lawan politiknya, sehingga cabinet dapat bertahan lama dan selanjutnya
jatuh sebelum dapat melaksanakan program partainya.
Pada masa ini terjadi beberapa kali pergantian cabinet diantaranya :
- Kabinet Natsir ( September 1950 – maret 1951)
Kabinet
pertama NKRI tahun 1950 adalah cabinet Natsir dengan perdana Menterinya
Mohammad Natsir (Masyumi), Kabinet mulai goyah sejak kegagalan dalam
perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Kabinet Jatuh setelah
PNI mengajukan mosi tidak percaya menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah No. 39/1950 tentang DPRD dan DPRDS
- Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952)
Kabinet
ini dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo, sebagai perdana menteri.
Kabinet merupakan koalisi PNI dan Masyumi. Kabinet mulai goyah akibat
ditandatanganinya perjanjian kesepakatan antara Menlu Subandrio dan duta
besar AS Merle Cohran tentang bantuan ekonomi dan militer. Kabinet
dicecar tuduhan melencengkan Indonesia baik dari politik luar negeri bebas aktif. Setelah PNI dan Masyumi menarik dukungannya, cabinet inipun jatuh.
- Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo, semasa cabinet ini, Indonesia
dilanda krisis ekonomi berupa jatuhnya harga barang-barang ekspor dan
krisis politik berupa aksi ketidakpuasan dan demonstrasi diberbagai
daerah. Ketidakmampuan menyelesaikan soal tanah
yang terkenal dengan peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara
(bentrokan antara aparat kepolisian dan para petuni liar) dan
peristiwa 17 oktober 1952 (gerakan sejumlah perwira AD menekan Presiden
Soekarno agar membubarkan cabinet. Pada saat yang sama, berlangsung
demonstrasi didepan istana Negara mengajukan tuntutan yang sama. membuat
cabinet Wilopo mengembalikan mandat kepada Presiden
- Kabinet Ali sastriamijoyo I ( Juli 1953 – Juli 1955)
Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo, sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan koalisi PNI dan NU. Kabinet menghadapi
ujian berat berupa kemelut dalam tubuh angkatan darat. Namun cabinet
ini sempat menunjukkan prestasi berupa penyelenggaraan Konferensi Asia
Afrika tahun 1955*.
Memuncaknya krisis ekonomi dan perseteruan antara PNI dan NU membuat NU
menarik dukungannya terhadap cabinet sehingga cabinet inipun akhirnya
jatuh.
- Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Kabinet
ini dipimpin Burhanuddin Harahap sebagai perdana menteri. Prestasi yang
menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan Pemilu I yang amat
demokratis. Selain itu, kabinet menunjukkan keunggulan Indonesia
dalam diplomasi perjuangan Irian Barat dengan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Namun Pemilu I tidak menghasilkan dukungan yang cukup
terhadap cabinet ini sehingga jatuh.
- Kabinet Ali Sostroamijoyo II (Maret 1956 – maret 1957)
Kabinet
ini dipimpin oleh Ali Sostroamijoyo sebagai perdana menteri. Kabinet
koalisi PNI, Masyumi dan NU merupakan cabinet yang pertama sesudah
Pemilu. Kabinet menghadapi pergolakan didaerah yang semakin menguat,
berupa pembentukan dewan militer di Sumatera dan Sulawesi. Mundurnya sejumlah menteri asal Masyumi membuat cabinet jatuh.
- Kabinet Karya atau Juanda (April 1957 – Juli 1959)
Kabinet dipimpin oleh Juanda sebagai perdana menteri. Kabinet terdiri atas para pakar dibidangnya sehingga disebut zaken cabinet.
Kabinet memiliki program bernama Panca Karya sehingga memperoleh
sebutan cabinet Karya. Kabinet menjadi demisioner saat presiden
mencanangkan dekrit pada bulan juli 1959.
b. Sistem kepartaian
Muncul
dan berkembangnya partai di dalam suatu Negara merupakan suatu cirri
utama bahwa Negara tersebut menganut paham demokrasi . Begitu pula
dengan Indonesia yang baru berdiri, ingin menyatakan bahwa Indonesia menganut paham demokrasi.
Untuk lebih menegaskan bahwa Indonesia
menganut paham demokrasi, maka dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden
no. X tanggal 16 oktober 1945. Kemudian disusul lagi oleh Maklumat
pemerintah tanggal 3 november 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia
menganut system multi partai. Keadaan seperti ini mengakibatkan
munculnya partai-partai politik. Dari tahun 1945 – 1950, telah berdiri
dengan resmi 25 partai politik. Menjelang Pemilu 1955 telah ada 70
partai politik yang ikut ambil bagian dalam Pemilu, tetapi setelah
penyeleksian akhirnya yang berhak ikut Pemilu I hanya 27 partai.
Diantara
partai politik yang ikut ambil bagian dalam Pemilu I terdapat 4 partai
politik yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI.
Akan
tetapi system multi partai hanya berlangsung hingga dikeluarkannya
Dekrit presiden 5 juli 1959. Hal ini disebabkan mekanisme politik sama
sekali tidak berfungsi. Oleh karena itu, pada masa-masa selanjutnya
diadakan penyederhanaan system kepartaian melalui penetapan presiden
(penpres) No. 7 / 1959 dan peraturan presiden (perpres) No. 13 / 1960
yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai –
partai politik.
Pada
tanggal 17 agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Tokoh kedua partai
tersebut dianggap oleh pemerintah dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
Dalam rangka penyederhanaan partai ini pula, tanggal 14 april 1961
pemerintah mengeluarkan pengumuman pemerintah yang berisi tentang
pengakuan hanya kepada partai-partai:
1. PNI 4. PSII 7. Perti
2. NU 5. Parkindo 8. Murba
3. PKI 6. Partai katolik 9. Partindo
Partai Murba kemudian dibubarkan oleh pemerintah tanggal 21 september 1961. Murba dianggap oleh PKI sebagai kelompok komnis yang menyimpang.
Pengurangan
jumlah partai politik ternyata tidak mengurangi pertentangan ideology
dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal tesebut, pada tanggal 12 Desember
1964 diselenggarakan pertemua partai-partai politik di Bogor.pertemuan
tersebut menghasilkan suatu dokumen yang dikenal Deklarasi Bogor.
Deklarasi tersebut menegaskan perlunya dipupuk persatuan nasional yang
berporos pasa NASAKOM. Keberadaan poros nasakom tersebut memperlihatkan
adanya pengaruh PKI yang kemudian semakin berkembang sampai akhir tahun
1965.
Pada
tanggal 12 maret 1966, PKI dibubarkan oleh pengemban Supersemar,
Soeharto. Pembubaran tersebut berkaitan dengan keterlibatan PKI dalam
gerakan 30 september tahun 1965.
Setelah PKI dibubarkan di usahakan pembinaan
partai-partai politik. Pada bulan oktober 1966, partai Murba
direhabilitasi. Pada tanggal 20 februari 1968, berdasarkan keputusan
Presiden No. 70 tahun 1968, didirikan Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi). Partai ini merupakan gabungan dari sejumloah organisasi
kemasyarakatan islam yang ada seperti Muhammadiyah, PUI dan Ali
Wasliyah.
Pada
masa orde baru ini pula, telah dilakukan kebijakan dalam system
kepartaian. Kebijakan tersebut menyangkut upaya pengelompokan partai
politik. Upaya itu ditempuh guna mengantisipasi berbagai persolan yang
pernah terjadi pada masa orde lama. Pada tanggal 27 Februari 1970,
presiden soeharto berkonsultasi dengan partai politik mengenai gagasan
pengelompokan partai. Presiden Soehato mengatakan bahwa pengelompokan
partai bertujuan untuk memanfaatkan suara-suara yang tercecer. Disamping
itu, pengelompokan partai politik berarti upaya penyederhanaan partai
sesuai dengan dengan ketetapan MPRS No. XXII / MPRS / 1966. Gagasan tersebut pada intinya pengelompokan partai kedalam kelompok-kelompok berikut.
- Kelompok material – spiritual, yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik dan Partindo. Kelompok ini menekankan pembangunan yang bersifat material, tetapi tanpa mengabaikan aspek spiritualnya.
- Kelompok spiritual – material, yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Kelompok ini menekankan pembangunan yang bersifat spiritual tetapi tanpa mengabaikan aspek material.
Pada
tanggal 5 januari 1973, keempat partai islam, yaitu NU, PSII, Perti dan
Parmusi berfusi dalam satu partai politik yang bernama Partai persatuan
pembangunan (PPP). Enam hari kemudian, yaitu tanggal 11 januari 1973,
partai yang tergabung dalam kelompok material-spiritual mendirikan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pengelompokan
ini dituangkan dalam UU no. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan
golongan Karya (Golkar). Dengan demikian, sejak pemilu 1977, hanya
terdapat 3 organisasi politik, yaitu PPP, PDI dan Golkar. UU tentang
Parpol dan Golkar kemudian diperkuat lagi dengan UU no.3 tahun 1985.http://masyarakatsejarahindonesia.blogspot.com/2009/10/upaya-mengisi-kemerdekaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar